Coretan Ervina Rahiem
Tak seharusnya aku selalu memikirkan dia. “Lihatlah! Telah seberapa banyak kamu luangkan waktu untuk
mendengarkan cerita-ceritanya yang tak penting? Telah berapa banyak kebaikan yang kamu telan darinya. Tapi ternyata kebaikan yang sama darinya pun diterima oleh orang lain, bahkan sahabatmu sendiri?”
“Ya, dia memang baik kepada siapa pun!”
“Dan telah berapa banyak gadis yang menyalah artikan kebaikannya? Sama sepertimu!” Kalila terus mencercaku dengan segudang argumennya tentang dia. Aku mengerti, mungkin dia telah bosan melihatku terus terombang-ambing oleh sikap laki-laki itu. Terkadang kegirangan, dan sesaat kemudian menangis.
“Vika, apa yang membuatmu tergila-gila pada laki-laki itu?” tanyanya tenang.
“Dia laki-laki yang sederhana,” jawabku singkat namun penuh makna.
“Hanya karena itu?”
“Ya, karena cintaku pun sederhana.” Aku terus saja membelanya, meskipun aku sadar, betapa kelembutannya telah melukiskan beberapa luka kecil di kanvas hatiku.
Siapa dia hingga membuatku menjadi rapuh seperti ini? Dia… dia sang pengejar mimpi. Dia tak pernah takut terhadap apapun. Dia… selalu semangat dan menyemangati. Dia… seorang yang bebas. Fariz namanya! Sang Penulis.
Aku mengenalnya di suatu senja, saat aku dan Kalila tengah asyik menikmati kesejukan senja di tepian sungai Martapura. Laki-laki itu datang menghampiri dan menyapa Kalila, kemudian mereka ngobrol begitu akrab. Kalila tak pernah mengenalkan aku padanya. Mereka terus saja bicara seputar kepenulisan yang sama sekali tidak aku mengerti. Ya! Mereka satu organisasi penulis yang entah apa itu namanya. Sekilas matanya menatap ke arahku yang hanya berdiam diri menikmati nyanyian sungai yang mengalun tenang. Kutangkap senyum tulusnya dan aku mengangguk hormat membalas senyumnya. Tak lebih dari satu menit aku menatapnya. Tak jua sepatah kata apapun, hanya seulas senyuman yang mengawali perkenalanku dengannya.
Tak seharusnya aku selalu memikirkan dia. “Lihatlah! Telah seberapa banyak kamu luangkan waktu untuk
mendengarkan cerita-ceritanya yang tak penting? Telah berapa banyak kebaikan yang kamu telan darinya. Tapi ternyata kebaikan yang sama darinya pun diterima oleh orang lain, bahkan sahabatmu sendiri?”
“Ya, dia memang baik kepada siapa pun!”
“Dan telah berapa banyak gadis yang menyalah artikan kebaikannya? Sama sepertimu!” Kalila terus mencercaku dengan segudang argumennya tentang dia. Aku mengerti, mungkin dia telah bosan melihatku terus terombang-ambing oleh sikap laki-laki itu. Terkadang kegirangan, dan sesaat kemudian menangis.
“Vika, apa yang membuatmu tergila-gila pada laki-laki itu?” tanyanya tenang.
“Dia laki-laki yang sederhana,” jawabku singkat namun penuh makna.
“Hanya karena itu?”
“Ya, karena cintaku pun sederhana.” Aku terus saja membelanya, meskipun aku sadar, betapa kelembutannya telah melukiskan beberapa luka kecil di kanvas hatiku.
Siapa dia hingga membuatku menjadi rapuh seperti ini? Dia… dia sang pengejar mimpi. Dia tak pernah takut terhadap apapun. Dia… selalu semangat dan menyemangati. Dia… seorang yang bebas. Fariz namanya! Sang Penulis.
Aku mengenalnya di suatu senja, saat aku dan Kalila tengah asyik menikmati kesejukan senja di tepian sungai Martapura. Laki-laki itu datang menghampiri dan menyapa Kalila, kemudian mereka ngobrol begitu akrab. Kalila tak pernah mengenalkan aku padanya. Mereka terus saja bicara seputar kepenulisan yang sama sekali tidak aku mengerti. Ya! Mereka satu organisasi penulis yang entah apa itu namanya. Sekilas matanya menatap ke arahku yang hanya berdiam diri menikmati nyanyian sungai yang mengalun tenang. Kutangkap senyum tulusnya dan aku mengangguk hormat membalas senyumnya. Tak lebih dari satu menit aku menatapnya. Tak jua sepatah kata apapun, hanya seulas senyuman yang mengawali perkenalanku dengannya.