"Yang baik tidak bisa lepas dari keburukan dan yang buruk tetap punya kemungkinan menjadi baik"

- Masa lalu boleh kelam, namun masa depan tak boleh suram (V_2198)-

Sabtu, 14 Desember 2013

Diskusi Sastra 'Perspektif Tersembunyi Dalam Diam'

Menarik...
Tadi malam, Jum'at, 13 Desember 2013 untuk yang pertama kalinya saya menghadiri acara diskusi sastra yang digelar secara rutin setiap bulan di Perpustakaan dan Arsip Daerah Banjarbaru yang mana kali ini mengangkat topik Perspektif Tersembunyi Dalam Diam. Jika kemarin-kemarin saya tak pernah hadir karena alasan waktu yang terlalu malam dan jarak tempuh yang lumayan jauh. Maka tadi malam ada sesuatu hal yang mendorong saya untuk wajib hadir dalam acara diskusi tersebut, yaitu salah satu pengantar pembicaranya adalah Ketua Wilayah FLP, Kak Saprudi.
Dalam diskusi tersebut dibahas tentang generasi muda penggiat sastra yang akhir-akhir ini hilang dalam terang. Mereka ada, namun diam. Sirajudin Nor (Rajudin Rumi) menyebutnya dengan La Yamut Wa La Yahya. Tidak mati dan tidak hidup. Hal ini ditengarai oleh Bang Randu bahwa generasi muda saat ini lebih asyik melakukan 'giat sastra' di dunia maya, yang mana hal itu mungkin terasa lebih memuaskan karena cukup hanya dengan menuliskan beberapa kalimat maka "hasil karya" mereka sudah dapat dinikmati oleh ratusan bahkan ribuan orang di berbagai daerah dan dunia.

Terkait Sastra FLP sendiri, selama ini dirasakan adanya tembok pemisah antara FLP dengan dunia sastra secara umum. FLP terkesan "ekslusif" bagi para Sastrawan Kalsel. Hal inilah yang kemudian memunculkan adanya Perspektif Tersembunyi Dalam Diam. Bang Ben mengatakan bahwa komunitas FLP bagaikan sebuah piramida yang terorganisir. FLP dengan Sastra Islam terkesan hanya mau mengapresiasi karya dari penulis FLP itu sendiri yang mana jika diperhatikan (menurut kacamata Sastrawan Kalsel) apresiasi tersebut lebih hanya ditujukan kepada penulis-penulis FLP yang berada di pusat seperti HTR, Kang Abik, dan lain sebagainya. Sama sekali belum pernah terdengar FLP mengapresiasi karya Penulis FLP dari Kalsel itu sendiri. Masih menurut Bang Ben, FLP lebih fokus pada sastra Islam tanpa mau melihat karya sastra lain yang berada di luar jalur Islami. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan dari Pak ASA, "Pernahkah FLP membahas/melakukan diskusi terkait karya sastra penulis lain di luar jalur FLP seperti karya Randu Alamsyah, Sandi Firly, Mahmud Jauhari Ali, Hamami Adaby, dan lain sebagainya?".
Perspektif ini kemudian saya patahkan dengan menyampaikan pengamatan saya secara pribadi bahwa dunia Sastrawan Kalsel-lah yang justru terkesan "ekslusif" bagi FLP. Yang mana saya merasa bahwa mereka menilai sastra FLP tidak sejalur dengan sastra umum berdasarkan pandangan mereka.

Dengan adanya diskusi tersebut, maka ditemukan sebuah titik di mana adanya missed communication antara penggiat sastra FLP dengan penggiat sastra umum yang ada di Kalsel yang selama ini tenggelam dalam perspektif masing-masing. Kemudian Pak ASA memberikan semacam tantangan untuk FLP mengundang beberapa Sastrawan Kalsel untuk membahas karya (penulis) FLP. Bagaimana kawan-kawan? (Vi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron sudah meninggalkan pesan di blog ini. ^_^