"Yang baik tidak bisa lepas dari keburukan dan yang buruk tetap punya kemungkinan menjadi baik"

- Masa lalu boleh kelam, namun masa depan tak boleh suram (V_2198)-

Jumat, 04 November 2011

Sekuntum Memory Rindu

Sekuntum Memory Rindu
Oleh : Ervina Rahiem

Di ufuk senja kutermenung, di sudut jendela kuresapi desiran angin lembut yang menghantarkan ketenangan malam. Sudah tiga hari ini kubiarkan diri uring-uringan dikamar seolah tak ingin melakukan satu hal apapun. Ditepi hati kudengarkan satu jeritan yang menggambarkan kerinduan seiring dengan lagu-lagu cinta yang sengaja kubiarkan bersenandung mengisi ruang memoryku.
Seketika bayangan itu kembali hadir mengusik, bayangan keindahan yang dulu selalu mengisi hari dan mimpiku, tentang seseorang. Nyanyian-nyanyian syahdu terus membangkitkan kenangan itu, memenuhi ruang rindu yang kian kelabu. Syair-syair indah ditiap baitnya menghantarkan khayalku ke alam mimpi menjemput keindahan pagi.
***
Semburat merah saga di ufuk timur menjemput ruhku yang tengah terbuai dikeindahan alam mimpi untuk membawanya kembali kealam nyata. Hari ini, cukup rasanya aku membenamkan diri dalam kemelut hati yang terbelenggu rindu. Aku sadar betapa aku tak mungkin terus berdiam diri sementara bayangan itu terus mengganggu. Kusambar telepon genggamku yang sudah tiga hari terbenam dilaci lemariku.
“Ven, Lu ga kekampus? Ada kuis nih..”

“Hai Ven, apa kabar nih? Kok udah dua hari ini lu ga masuk kuliah tanpa ada kabar? Lagi ada masalah? Lu sakit?”
“Ven, ada tugas Riset Teknologi Informasi nih dari pak Budi, gua kirim ke email lu ya, lusa mesti dikirim balik ke emailnya pak dosen” Sms bertubi-tubi dari Jingga sejenak mampu menyingkirkan sekelebat bayangan yang berapa hari ini terus mengganggu pikiranku, namun aku tak berniat untuk buru-buru membalasnya. Otakku saat ini hanya terfokus pada satu nama ditelpon genggamku.
Tepat satu jam kemudian, aku dan Alya sudah menginjakkan kaki dihalaman sekolah yang menyimpan begitu banyak memory indah. Setelah berkeliling melihat keadaan sekolah dan bercengkerama dengan guru-guru yang sudah satu tahun kutinggalkan, aku dan Alya segera menuju kantin bersejarah yang menjadi saksi kenakalan kami di masa sekolah dulu, mulai dari bercanda, mengusili kakak ataupun adik kelas, bolos saat jam pelajaran, sampai mengamankan barang-barang yang dilarang untuk dibawa kesekolah bila ada razia.
“Subhanallah...” sesendok nasi goreng tertahan didepan mulutku yang menganga siap menghajar butiran-butiran merah nan lezat itu.
“Ada apa Ven?” tanya Alya keheranan.
“Hellooooo...Venus...ada apa? Wouii!!” Alya melambai-lambaikan tangannya didepan mataku sembari melongo karena sedari tadi aku tak menggubris keheranannya.
“Itu Juna kan Al??Arjuna!!” seruku hampir tak percaya. Aku mencoba mengendalikan diriku yang hampir saja dikuasai oleh perasaanku.
Usai melahap habis sepiring nasi goreng, aku dan Alya beranjak dari kantin. Kami kembali menyusuri lorong-lorong sekolah menuju perpustakaan melewati ruang koperasi yang memang belum kami singgahi.
Tepat selangkah sebelum memasuki ruang koperasi, langkahku terhenti oleh kehadiran Arjuna yang tepat berdiri dihadapanku. Perasaan canggung mendominasi saat kedua pasang mata saling beradu pandang. Untungnya aku segera menyadari kondisi ini sehingga dapat segera mengendalikan sikapku.
“Assalamu’alaikum Juna, apa kabar?” sapaku setengah kikuk. Ada rasa bahagia dan malu berkecamuk dihatiku membuat jantung berdetak kencang.
“Wa’alaikum salam Venus, Alhamdulillah aku baik, kamu sendiri bagaimana? Lama sekali tidak bertemu” Balas Arjuna lebih santai seraya mengulurkan tangannya. Rupanya dia lebih sukses mengendalikan sikapnya sehinngga aku merasa terlihat bodoh dihadapannya. Sementara Alya memilih memasuki ruang koperasi, meninggalkan aku dan Arjuna dalam suasana yang cukup kaku.
“Alhamdulillah baik juga, ada perlu apa kamu kesini?” jawabku menyambut uluran tangannya.
“Mmm... aku mau melegalisir ijazah, tapi katanya pak kepala sekolah sedang diluar kota”
“Owh begitu yaa.. Oh ya, boleh aku minta nomor hape mu?” tanyaku seketika seolah tak ingin kehilangan kesempatan. Arjuna menyebutkan sederet angka yang diikuti oleh gerakan jemariku untuk merekamnya, lalu ku miskol nomor itu untuk memberitahukan nomor hapeku.
Usai hari itu, aku merasa telah terlepas dari beban pikiran yang belakangan menyesakku. Seiring dengan berlalunya hari itu, hari-hariku yang terasa kosong selama dua tahun ini, kosong oleh perasaan yang menggantung semenjak lulusnya Arjuna dari sekolah, perasaan yang terkunci rapat disanubariku kni seakan bersemi kembali oleh puisi-puisi indah Arjuna yang selalu menyanjungku ditiap smsnya.
Akhirnya, waktu yang kunantikan sekian tahun datang juga. Arjuna mengajakku bertemu. Disebuah kedai kopi sederhana yang tak jauh dari kampus aku menghabiskan siang bersama Arjuna. Begitu banyak hal yang selama ini terpendam, hari ini terungkap melalui jendela hati dcelah mata.
“Maafkan sikapku selama ini Ven, jujur aku ga bermaksud untuk menciptakan permusuhan diantara kita”
“Aku yang seharusnya minta maaf karna sudah lancang menyimpan perasaan yang tak pantas ini, kurasa wajar kok kalau kamu bersikap seperti itu karna memang ga ada perasaan yang sama dihatimu kan?” jawabku mencoba tersenyum menegarkan hati.
“Justru karna perasaanku sama, aku ga punya keberanian didepan kamu” seperti di antara petir yang menggelegar dan hujan lebat ditengah gurun yang gersang aku mendengar ucapan Juna barusan.
“Apa??? Tapi Juna...” Aku terkesima hingga hanya kata itu yang mampu terucap.
“Iya Ven, kesederhanaanmu, pribadi yang unik, cerdas dan juga baik. Aku jatuh cinta Venus, aku jatuh cinta” ucapnya lirih. Sementara aku masih saja terdiam.
“Tapi apa masih mungkin aku memiliki cinta seorang Venus setelah aku begitu menyakitimu? Maafkan aku Ven” Kulihat Arjuna menunduk, bungkam didalam rasa sesalnya.
“Arjuna... “ ucapku haru.
“Jika Allah Yang Maha Pengasih mampu untuk mengampuni setiap hamba-Nya, lalu bagaimana mungkin aku yang hanya manusia biasa tak bisa untuk memaafkan? Apalagi jika ini adalah atas nama cinta...”
“Jadi??” Arjuna menatapku dengan penuh kecemasan.
“Rasaku masih tetap sama Juna” jawabku sembari tersenyum.
“Alhamdulillah...”
Hujan deras yang tumpah dari bibir langit menjadi saksi luapan kebahagiaan yang kunantikan selama ini. Penantian dalam rasa yang telah kusimpan selama empat tahun sejak kumengenal tentang cinta. Cinta yang tak pernah kutau apa maknanya, yang tak pernah kufahami perwujudannya. Cinta pertama, yang kini menjadi terakhir di hatiku. Arjuna...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Syukron sudah meninggalkan pesan di blog ini. ^_^