Sang Penulis
Oleh : Ervina Rahiem
Olivia mengeluarkan
sesuatu dari dalam tasnya. Beberapa helai kertas HVS berukuran kwarto tersusun
rapi diserahkan kepada Keisya sahabatnya.
“Ho’oh, baru selesai
tadi malam. Silakan dibaca dan jangan lupa kritik dan sarannya ya non, hehe.”
Sebenarnya Olivia
memiliki bakat menulis yang cukup baik. Buktinya selama dua tahun duduk di
bangku SMA Olivia sudah menelorkan beberapa cerpen karyanya. Hanya saja, sayang
bakat itu tak pernah disalurkan entah dengan mengikuti lomba menulis cerpen
ataupun mengirimkan karya-karyanya tersebut ke media lokal.
“Sarannya sih masih
tetap sama kali neng, kirim cerpennya ke media.”
“Waduh, masih malu Kei
ngirim cerpen kacangan gini ke media, masih perlu banyak latihan, hehe.”
Begitulah alasan Olivia
setiap kali teman-temannya menyarankan untuk mengasah bakat terpendamnya.
Jangankan ke media, untuk dikirim ke redaktur mading sekolah saja Olivia selalu
terkesan ogah. Hanya puisi-puisnya saja yang sering nampang di mading. Alhasil,
cerpen-cerpen karya terbaik Olivia hanya dinikmati oleh teman-teman sekelasnya.
“Sssstttt… Bu Dina
datang, “ Rinto sang ketua mengisyaratkan para siswa kelas sebelas Bahasa untuk
menghentikan kegaduhan. Suasana kelas menjadi hening seketika saat guru bahasa
Indonesia itu memasuki ruang kelas yang sederhana itu.
Suasana begitu hikmat saat bu guru
menerankan pelajaran, kali ini membahas tentang fungsi bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional.
“Reva! Sinta! Apa yang
kalian lakukan?” Tiba-tiba Bu Dina menegur dua siswi yang duduk di barisan
paling belakang, paling pojok pula.
“Eeee… anu bu, eee…”
Sinta mencoba menjawab dengan tergagap-gagap sambil garuk-garuk kepala enggak
jelas, sementara Reva hanya melongo di sebelahnya sembari mencoba mengatur laju
detak jantungnya yang sudah mencapai 100 km/jam.
“Dari tadi ibu lihat
kalian tidak memperhatikan apa yang ibu ajarkan, malah sibuk berebut kertas.”
Rupanya kedua gadis itu
sedang sibuk membaca cerpen barunya Olivia yang berjudul satu bintang untukmu
dan tertangkap basah oleh Bu Dina saat tengah meributkan halaman-halamannya
yang terpisah enggak karuan. Maklum lah, karena cetakan limited edition penghuni kelas itu harus mengantre untuk membaca
karya fenomenal Olivia. Sontak saja bu guru langsung menyita cerpen itu.
“Setelah jam pelajaran
ini, kalian ikut ibu ke ruang guru.”
“Baik bu.” Serempak
Reva dan Sinta menjawab pasrah. Sementara Olivia bengong sendiri memikirkan
nasib cerpennya yang kini berada di tangan sang maestro, ups sang guru
maksudnya, hehe.
***
Usai jam pelajaran
bahasa Indonesia, Bu Dina meninggalkan ruang kelas diikuti dua siswa yang
tertangkap basah tadi.
Setelah puas mendengarkan
petuah Bu Dina selama kurang lebih sepuluh menit, dua gadis malang itu
pun kembali ke kelas dengan wajah tanpa ekspresi.
“Oliv, lu dipanggil Bu
Dina tuh di ruangannya,” ujar Reva sesampainya di depan pintu kelas.
“Haaaahh? Gue?” Olivia
menganga selebar-lebarnya demi mendengar pesan singkat itu.
“Iya elu, masa
kuntilanak?” Sinta menimpali.
“Enak aja gue dikatain
kuntilanak, masih lebih cantik gua kali…”
“Duh, ada apa ya? Mati
dah gue.” Olivia menatap penuh tanya pada Keisya sahabatnya sembari melangkahkan
kaki menuju ruang guru.
“Permisi bu, ibu
memanggil saya?”
“Iya Oliv, silakan
masuk”
Olivia memasuki ruangan Bu Dina dengan
langkah ragu.
“Ada apa ya bu?”
“Cerpen ini karangan
kamu?” Bu Dina langsung ke inti permasalahan.
“Iya bu. Maaf bu, saya
sama sekali enggak bermaksud untuk membuat keributan di kelas, saya juga enggak
tau kalau Reva dan Sinta membaca cerpen itu pas jam pelajaran ibu, apalagi
sampai berebut seperti itu. Biasanya anak-anak membacanya pas jam istirahat
atau kalau ada waktu luang,” Olivia menjelaskan panjang lebar tanpa diminta,
membuat Bu Dina jadi senyum-senyum sendiri olehnya.
“Biasanya? Berarti kamu
sudah sering membuat cerpen seperti ini?” Bu Dina bertanya setengah menyelidik.
Olivia tertunduk,
jantungnya berdegup kencang. Dalam hatinya sudah pasrah saja dengan apa yang
terjadinya pada cerpennya. Mungkin akan jadi penghuni baru lemari barang-barang
sitaan, atau mungkin malah akan dijadikan mainan bola-bola oleh Bu Dina.
Walaupun Olivia tau Bu Dina enggak akan sekejam itu, karena Bu Dina adalah guru
yang paling lembut di sekolah itu, apalagi dia adalah guru Bahasa Indonesia.
“Justru itu bagus Oliv,
ternyata kamu memiliki bakat yang luar biasa. Kenapa enggak dikembangkan?”
“Maksud ibu?”
“Ibu sudah baca cerpen
kamu dan ibu nilai cukup bagus. Sudah pernah coba kirim ke media?”
Olivia hanya menggeleng.
“Kebetulan ini ada
lomba menulis cerpen remaja tingkat pelajar, ibu sarankan sebaiknya kamu ikut.
Hitung-hitung untuk mengukur sejauh mana potensimu dalam menulis.”
“Tapi bu, saya rasa saya
masih perlu banyak latihan untuk hal itu”
“Justru ini bisa
sebagai ajang latihan”
Olivia tertunduk malu. Ada keraguan juga
dalam hatinya untuk mengikuti lomba menulis cerpen itu. “Bagaimana jika hasinya
mengecewakan bu?”
“Ya, namanya juga
belajar. Seorang penulis itu harus berjiwa besar. Kegagalan harus dijadikan
cambuk untuk membangkitkan semangatmu agar menghasilkan tulisan yang lebih baik
lagi. Kamu enggak perlu khawatir, ibu langsung yang akan membimbing kamu dalam
lomba ini, bagaimana?”
“Baik bu, saya
bersedia. Cerpen yang akan dilombakan yang itu bu?” tunjuk Olivia pada
cerpennya yang kini berada di tangan Bu Dina.
Gurunya itu tersenyum
lalu menyerahkan selembar kertas undangan kegiatan lomba. “Bukan, kamu harus
membuat lagi cerpen baru sesuai dengan tema yang ditentukan, silakan kamu
pelajari ini. Yang ini biar ibu pegang dulu.”
“Baik bu” Olivia
beranjak dari tempat lalu pergi meninggalkan ruangan setelah dipersilakan oleh
Bu Dina.
***
“Gimana Liv? Lu
dimarahin sama Bu Dina?” Keisya langsung menyodorkan beberapa pertanyaan begitu
Olivia tiba di bangku kesayangannya.
“Gue diminta mewakili
sekolah dalam lomba menulis cerpen remaja tingkat pelajar Kei”
“Bagus dong Liv, itu
artinya lu bisa mulai melebarkan sayap dong?”
“Melebarkan sayap?
Emangnya gue burung? Masalahnya gua malu Kei.”
“Kenapa juga mesti
malu? Cerpen-cerpen lu itu bagus banget, gue yakin deh lu pasti menang.”
“Hehe, aaamiin.”
“Eh by the way cerpen lu mana?”
“Masih
disita sama Bu Dina.”
“Yaaahh, gue kan belum
selesai membacanya,” Keisya menyesali cerpen yang kini bermukim di ruangan Bu
Dina.
“Lu sih, belum selesai
dibaca udah main kasih aja ke anak-anak.”
“Hehe, maaf ya Liv...”
***
Sudah hampir dua minggu
Olivia rutin berurusan dengan Bu Dina sang guru Bahasa Indonesia yang sekarang
jadi guru pembimbing cerpennya. Tiga hari lagi batas akhir pengiriman naskah
cerpen yang dilombakan tiba, untungnya cerpen Olivia pun sudah memasuki tahap
akhir dan siap untuk dikirimkan.
“Akhirnya gue bisa
tenang juga Kei,” keluh Olivia pada sahabatnya.
“Bukannya lu udah biasa
ya Liv bikin cerpen kaya ginian?”
“Emang sih, tapi kan
ini pertama kalinya gue ikut lomba menulis. Cukup menegangkan juga ternyata,
hehe.”
Tiba-tiba Rinto muncul
di antara kedua gadis itu menyampaikan pesan Bu Dina yang meminta Olivia untuk
menemuinya di ruangannya.
“Ada apa lagi ya?
Perasaan urusan lomba cerpen sudah selesai.” Keisya hanya mengangkat bahu
menanggapi pertanyaan sahabatnya itu. Olivia pun melaju menuju ruangan Bu Dina.
“Olivia, coba kamu
lihat ini.” Bu Dina menyodorkan surat kabar terbitan dua hari yang lalu, yaitu
hari minggu. Kejutan yang diterima Olivia begitu melihat halaman yang
ditunjukkan Bu Dina.
“Bu, ini kan?” Rupanya
Bu Dina mengirimkan cerpen Olivia ke media harian lokal dan cerpen itu dimuat.
Olivia terlihat sangat senang menerima kejutan itu
“Terimakasih bu.”
Olivia menujukkan
halaman yang memuat cerpennya itu kepada sahabatnya.
“Kei, lihat ini.”
“Wow, akhirnya sang
penulis keluar juga dari sarangnya. Selamat ya Liv.”
Keisya memeluk sahabatnya dengan gembira
dan mereka pun tertawa lepas mengurai kebahagiaannya.[]
Banjarmasin Post, 22012012
Bakat...
BalasHapusTak semua manusia yang dikaruniai bakat bisa menyalurkannya dengan baik. Kadang ada rasa tidak percaya diri, kadang ada rasa takut kalau hasil karyanya tidak dihargai orang lain.
Disinilah sahabat dan orang-orang terdekat kita mengambil peranan. Merekalah yang bisa menilai kita, merekalah yang bisa mensupport kita. Kalau mereka bilang hasil karya kita bagus, berarti kemungkinan besar orang lain juga akan bilang bagus.
kalaupun akhirnya kita kurang berhasil, toh kita tetap akan mendapatkan pengalaman dari itu semua.. justru dengan kritikan kita jadi bisa memperbaiki hasil karya kita untuk membuat hasil karya yang lebih baik di kemudian hari.
Tau dengan grup band ungu?
album pertama dan kedua mereka tidak begitu meledak di pasaran. tapi mereka tidak pernah berhenti berkarya..
hingga akhirnya kini, lagu-lagu mereka sangat disukai para kaum muda. Bahkan saat ini mereka menjadi salah satu band papan atas Indonesia..
Teruslah berkarya..
Cerpen yang bagus :)
Semoga bisa menjadi inspirasi bagi Olivia Olivia lain yang ada di luar sana, Bahkan sang penulis cerpen ini sendiri.
:)
BalasHapusMakasih...
Kita harus bisa menghargai karya sendiri lebih dulu agar oranglain pun bisa menghargai karya kita juga :)
Semangat!!
Semangat !!
BalasHapusdan teruslah berkarya !
Yupz.. semoga bisa menghasilkan karya yg lebih baik lg...
BalasHapusSaran dan kritiknya selalu ditunggu diblog ini :)