Cinta
Sang Murabbi
Oleh : Ervina Rahiem
“Wa’alaikum salam… Hei, An, sudah pulang
kamu? tumben cepat?” celoteh Kak Amanda sambil terus sibuk memelototin layar
ponselnya.
“Hari ini enggak jadi liqo, murabbiku tiba-tiba sakit,” ucapku
tak bersemangat.
“Oh, ya sakit apa dia?”
“Katanya sih, maagnya kambuh.” Kak
Amanda hanya manggut-manggut mendengar jawabanku barusan.
“Senang banget, Kak. Sedang SMS siapa
sih?”
“Siapa lagi?” Kak Amanda tersipu mencoba
menyembunyikan rona merah di pipinya.
“Kakak sedang SMS-an sama Kak Fatih?”
selidikku.
“Yupz!
tepat sekali! Dia itu sangat menyenangkan ya, An?” nampak sekali raut
kebahagiaan terpancar dari wajah manisnya yang putih mulus.
“Astaghfirullah,
Kakak! Kak Fatih itu sedang halaqoh,
Kak. Jangan diganggu dong!” tegurku
pada kakakku yang sepertinya sedang terserang wabah virus merah jambu itu.
Kak Fatih adalah murabbi kelompok liqo ikhwan
di sekolahku. Dia juga seorang aktifis rohis di kampusnya yang tak jauh dari
sekolahku, karena itulah dia beserta teman-temannya berinisiatif membina
kelompok keagamaan di sekolahku.
Kak Amanda mengenalnya saat menjemputku
di sekolah suatu sore. Saat menungguku yang masih ada agenda liqo itulah dia mengenal Kak Fatih yang
kebetulan juga tengah menunggu temannya. Sebenarnya Kak Amanda dan Kak Fatih
satu kampus, hanya saja mereka berlainan fakultas.
Rupanya perkenalan sore itu,
menghadirkan keakraban di antara mereka. Sejak saat itu, kuperhatikan tingkah
Kak Amanda mulai berubah. Dia mulai rajin sholat, mengaji, dan membenahi
pakaiannya dari yang semula agak ketat menjadi pakaian longgar yang tidak lagi
menampilkan bentuk tubuhnya, serta mengganti jilbabnya menjadi jilbab lebar
yang benar-benar jilbab bukan lagi jilbab yang dililit-lilit sedemikian rupa.
Subhanallah…
Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah memberikan sedikit demi sedikit hidayah-Mu
pada Kak Amanda, ucapku dalam syukurku.
Belakangan baru kuketahui bila
perubahan-perubahan kakakku itu ternyata termotivasi oleh Kak Fatih. Pernah
suatu ketika, aku iseng membuka kotak pesan kakakku saat dia tengah di kamar
mandi, kutemukan seabrek pesan
singkat dari Kak Fatih. Kak Amanda begitu rajinnya melontarkan
pertanyaan-pertanyaan seputar keislaman dan Kak Fatih pun dengan sabarnya
menjelaskan secara detil setiap pertanyaan Kak Amanda.
Ya,
Allah… sudah sedekat inikah mereka rupanya? pekikku dalam
hati.
***
“An, kok bisa ya Kak Fatih baik banget gitu?” tanya Kak Amanda
selepas sholat isya.
“Aduh, Kakak ini… baru juga selesai
sholat udah ngomongin dia lagi.
Jangan-jangan tadi pas lagi sholat, Kakak mikirin dia, ya?” Kak Amanda tersipu malu.
“Hmm… memang… baik gimana, Kak?” selidikku.
“Ya, baik… dia itu lembut, sabar, udah
gitu perhatian lagi.”
“Kakak suka sama Kak Fatih?” lagi-lagi
aku menangkap rona merah pada wajah kakak.
“Cewek mana sih, An, yang nggak suka
sama ikhwan sejati macam dia?
sederhana dan bijaksana,” dengan semangatnya pujian demi pujian terhadap Kak
Fatih terlontar dari bibir Kak Amanda.
“Hmm... dia memang sejatinya ikhwan sempurna, Kak. Ya, setidaknya untuk
masa sekarang ini. Tapi sebaiknya Kakak hati-hati.”
“Hati-hati? maksud kamu??”
“Pastinya bukan cuma Kakak yang memiliki
perasaan seperti itu untuk seorang ikhwan sebaik dia. Annisa cuma nggak ingin
nantinya Kakak menjadi kecewa karena terlalu dalam mengharapkannya,” ucapku sok
menasihati.
“Kamu juga menyukainya, An?” tanya Kak
Amanda harap-harap cemas.
“Kak… Annisa ini masih terlalu kecil
untuk hal seperti itu. Baru juga kelas 3 SMA.”
“Gimana kalau ternyata Kak Fatih memilih
kamu?” aku tersentak menerima pertanyaan itu.
“Jodoh itu sudah ada yang mengatur, Kak.
Yang pastinya Annisa bakal bersyukur banget
bisa mendapatkan hatinya. So, Kakak harus menerimanya dengan ikhlas, ya? hehe,”
jawabku berusaha santai.
Kak Amanda melempar gulingnya ke arahku,
“Huu..!”
Aku menarik selimut dan membenamkan
diriku di dalamnya. Membiarkan kehangatannya memelukku di sepanjang malam.
Mengusir gundah yang tiba-tiba bertebaran dalam hatiku bersama secercah cemburu
yang bergelayut di jiwaku.
***
Ada perasaan yang mulai mengganggu, saat
setiap hari aku harus menyaksikan raut kebahagiaan di wajah Kak Amanda setiap
dia memegang ponselnya, saat setiap malam aku harus mendengarkan cerita kakakku
satu-satunya itu tentang kekagumannya pada Kak Fatih. Perasaan apa ini? Apa ini
namanya cemburu?
Perlahan aku mulai menjaga jarak dengan murabbi kelompok ikhwan itu. Aku nggak ingin perasaanku jatuh terlalu dalam pada
kesehajaan ikhwan dambaan itu. Aku
pun tak ingin membuat Kak Amanda kecewa bila dia tau kedekatanku dengan Kak Fatih.
Sudahlah,
An. Nggak penting mikirin hal begituan. Mending fokus sama halaqoh aja. Mana sebentar
lagi ujian nasional, aku berbicara pada diriku sendiri.
Terkadang… begitu ingin aku curhat pada murabbiku tentang kemelut perasaan ini.
Tapi aku malu. Aku malu karena telah gagal menjaga hatiku.
“SMS yang nggak penting itu sebaiknya
nggak usah terlalu dihiraukan. Untuk menjaga hati aja,” begitulah kata murabbi
cantikku itu saat aku kepergok tengah berSMS-an ria dengan Kak Fatih.
Ya, jauh sebelum Kak Amanda mengenal dan
menjadi akrab dengan Kak Fatih, aku telah lebih dulu akrab dengannya. Aku
sering berbagi cerita dengannya dan Kak Fatih sendiri pun seolah tak lagi segan
untuk bercerita apapun padaku. Dia begitu mengerti aku dan selalu memberikan
semangat di saat aku mulai goyah. Kak Amanda nggak pernah salah, karena Kak
Fatih memang sangat baik dalam memperlakukan perempuan. Dia sangat lembut,
terbuka, dan begitu dewasa. Mungkin memang seperti itulah sikapnya pada setiap
perempuan. Tapi sejauh ini, kurasa aku hanya menganggapnya sebagai seorang
kakak laki-laki yang begitu menjaga dan melindungi.
***
Aku menghempaskan tubuhku di kasur yang
lumayan empuk. Hari ini terasa begitu melelahkan bagiku, padahal aktifitasku
berjalan seperti biasanya, sekolah dan ikut ekstra kurikuler –Mading, KSI
(Kelompok Studi Islam), Pramuka- lantas pulang ke rumah.
Usai mandi, aku berjalan menuju rak buku
yang terletak di sudut kamar, bermaksud meraih novel kesayanganku yang belum
habis kubaca seri kelimanya. Tetapi entah kenapa, sorot mataku menyinggahi
sebuah buku bersampul kuning yang tidak terlalu tipis dan tanganku pun tergerak
untuk meraihnya.
Ini
kan, buku Kak Fatih? gumamku setelah mengenali buku yang
sering di tenteng sang murobi itu. Aku menemukan sehelai
kertas biru beraroma di antara halaman buku itu. Dengan perlahan dan sangat
hati-hati kubuka lipatan kertas manis itu.
Assalamu’alaikum, Kak
Fatih…
Maaf telah lancang
menuliskan surat ini untuk Kakak, tapi hanya lewat surat ini ana berani untuk
menyampaikan rasa terimakasih ana pada Kakak yang selama ini telah bersedia
membimbing ana dengan penuh kesabaran. Jujur, ana sangat bersyukur dapat
mengenal Kakak, karena melalui Kakak lah, ana dapat memahami akan pentingnya
menjaga diri dan merasakan keindahan Islam. Ana benar-benar sangat bersyukur
memiliki sahabat seperti Kakak, walaupun akhirnya persahabatan ini memiliki
arti lain di hati ana. Maaf, ana telah jatuh cinta pada kesederhanaan dan
kesahajaan Kakak. Jika boleh, ana sangat mengharapkan Kakak untuk menjadi imam
ana ke surga nantinya. Aaamiin.
Wassalam…
-Amanda-
Tubuhku tiba-tiba gemetar membaca isi
tulisan itu. Kak Amanda… Kak Amanda berniat untuk mengungkapkan perasaannya
pada Kak Fatih. Bahkan secara terang-terangan dia mengatakan bahwa dia
mengharapkan Kak Fatih untuk menjadi imamnya. Itu artinya….
Setetes butiran bening jatuh dari
mataku, segera kuseka dengan jemariku sebelum tetesannya terlanjur melunturkan
ungkapan hati itu. Kulipat kembali kertas itu dan kukembalikan ke tempatnya.
Aku pun kembali menuju ranjang tanpa sempat memungut buku yang tadinya ingin
kubaca. Kubenamkan wajahku di bantal, dan tangisku pun pecah menyeruak.
Aku tau dan aku sadar, cemburu itu…
benar adanya.
Ada… saat kutau dia begitu dekat
denganmu.
Jauh… melebihi aku..
Aku tau dan aku sadar, cemburu itu…
Tak sepantasnya membenam di jiwaku.
Karena aku… bukan siapa-siapa…
Hari ini aku baru benar-benar mengerti
tentang kemelut yang kurasakan selama ini. Ya, ternyata benar itu adalah cinta,
ternyata aku pun jatuh cinta pada Kak Fatih. Tapi aku masih terlalu kecil untuk
berbicara tentang cinta. Mungkin Kak Amanda memang lebih berhak mendapatkan Kak
Fatih. Kak Amanda cantik, baik, dan usia mereka hanya terpaut 2 tahun lebih tua
Kak Fatih. Sedangkan aku jauh lebih muda 4 tahun dari Kak Amanda.
Ya, Allah… ajarkan aku
untuk ikhlas melepaskannya.
***
“Annisa…,” Kak Amanda memanggil saat aku
hendak pergi ke sekolah bersama ayah.
Aku pun menghentikan langkah dan
membalikkan badan.
“Ada apa, Kak?”
“Hari ini kamu ada agenda liqo, kan?” tanyanya
penuh harap.
Aku hanya mengangguk heran, dan Kak
Amanda menyerahkan sebuah buku padaku.
“Titip ini buat Kak Fatih, ya?”
Deg,
jantungku terasa berhenti berdetak. Kusambut buku itu dengan senyuman, kemudian
berangkat ke sekolah di antar ayah.
“Assalamu’alaikum, An. Afwan Kakak nggak
bisa liqo hari ini, ada kepentingan yang nggak bisa ditinggalkan. Minta tolong
disampaikan sama teman-teman, ya? Syukron,” Kak Nabila, murabbiku mengirim SMS
pada jam istirahat pertama. Aku pun langsung mengabari teman-teman yang lain.
“Assalamu’alaikum, An. Hari ini Kakak
nggak bisa liqo, tapi tadi sudah Kakak sampaikan sama Ikhsan. Hanya saja… sore
ini Kakak pengin ketemu kamu, bisa?” tak lama berselang, SMS Kak Fatih
ikut-ikutan nimbrung di kotak
masukku.
“Wa’alaikum salam. Insya Allah bisa, Kak.
Jam berapa?”
“Ba’da
ashar, ya? sebaiknya ketemu di mana? di sekolah atau Kakak mampirin ke rumah kamu aja?”
“Hmm… ba’da ashar sih ana udah di rumah, Kak. Kalau nggak repot, boleh
deh Kakak aja yang ke rumah.”
“Oke… kalau begitu, nanti sore Kakak
langsung ke rumah Annisa aja.”
“Sip, Kak.”
Obrolan via SMS itu berakhir seiring
berbunyinya bel delapan kali pertanda jam istirahat pun telah berakhir.
Sepulang sekolah, kuserahkan kembali
buku yang tadi pagi dititipkan Kak Amanda padaku.
“Lho, kenapa?”
“Hari ini nggak ada liqo, Kak?” kulihat seraut wajah yang dilanda kekecewaan
tepat di hadapanku.
“Tapi katanya Kak Fatih hari ini mau
kesini, ba’da ashar.”
“Serius kamu, An? Mau ngapain?” senyum mengembang di
bibir Kak Amanda seolah menghapus selaksa kesedihan yang tadi sempat singgah.
Aku pun tersenyum mengiyakan pertanyaan kakakku itu kemudian berlalu menuju
kamar mandi.
Usai sholat ashar, aku melanjutkan
membaca novel kesayanganku. Sementara Kak Amanda nampak tengah sibuk memoles
dirinya di depan cermin.
Apa
mungkin kali ini, Kak Amanda akan nekat ngomong langsung tentang perasaannya ke
Kak Fatih, ya? bukan lagi melalui surat…, gumamku dalam hati.
Bersamaan dengan itu, kudengar ucapan
salam dari luar rumah disertai ketukan pintu tiga kali.
“An,” Kak Amanda mengisyaratkan aku
untuk membukakan pintu. Aku pun beranjak dari tempat tidur.
“Wa’alaikum salam…,” sahutku sembari
membuka pintu.
“Afwan,
An, mengganggu waktunya sebentar.”
“Nggak apa-apa, Kak. Mari silakan
masuk,” aku mempersilakan sang murobi
itu masuk dan duduk di ruang tamu.
Tak lama kemudian, Kak Amanda muncul
dengan membawa baki berisi air minum dan setoples makanan ringan lalu
menyuguhkannya pada Kak Fatih.
“Silakan, Kak. Oh iya, tumben ke sini.
Ada apa, Kak?” aku melirik sekilas pada Kak Amanda.
“Ana cuma ingin mengantarkan ini saja
secara langsung sama kalian, karena ana sudah menganggap kalian ini seperti
saudara sendiri. Ana berharap kalian berkenan untuk hadir,” ujar Kak Fatih
tanpa basa-basi.
Aku menerima amplop hijau itu dan
perlahan mengambil isinya kemudian membacanya.
Walimatul ‘Ursy
Muhammad Al-Fatih Fadhillah dengan
Nabila El-Jihan.
Minggu, 18 Maret 2012.
Aku tersentak membaca undangan itu, ada
selaksa kesedihan yang menyeruak dalam bathinku.
“Barakallahu…
selamat ya, Kak. Nggak nyangka banget
kalau Kakak ternyata berjodoh dengan murobiku
sendiri, Kak Nabila,” ucapku berusaha tersenyum sembari menyerahkan kertas
undangan itu pada Kak Amanda. Kulihat Kak Amanda hanya terdiam dengan genangan
airmata yang berusaha disimpannya agar tak sampai terjatuh di hadapan Kak
Fatih.
“Alhamdulillah…
orangtua ana yang memilihkan dia untuk ana. Baiklah, kalau begitu ana pamit ya? terimakasih atas waktu
kalian, ana benar-benar
berharap kalian berkenan hadir di walimah
ana nanti,” Kak Fatih pun beranjak dari tempat duduknya. Aku mengantar
kepulangannya hingga depan pintu.
***
Aku menatap Kak Amanda dengan wajah
sendu, dapat kurasakan kepedihan mendalam yang dirasakan Kak Amanda saat ini.
Kak Amanda membalas tatapanku dengan sejuta gambaran kesedihan di raut wajahnya.
Kemudian dia beranjak dan menghambur memelukku.
“An, ternyata benar ya. Laki-laki yang
baik hanya untuk perempuan yang baik dan begitu pun sebaliknya.”
“Sudah lah, Kak. Mungkin memang bukan
Kak Fatih yang terbaik untuk Kakak.”
“Bukan Kak Fatih yang nggak baik buat
Kakak, An. Tapi justru Kakak lah yang belum baik buat dia.”
“Allah pasti punya rencana indah di
balik semua ini,” ucapku berusaha menegarkan Kak Amanda, atau lebih tepatnya
menegarkan hatiku.
Kak Amanda berlari menuju kamar.
Menumpahkan segala rasa indah yang telah tergores di hatinya. Sementara aku,
aku memungut kembali kertas undangan bernuansa hijau itu, mencoba meyakinkan
lagi hatiku, bahwa perasaanku telah terbunuh oleh pernikahan para murabbiku.[vie]
hmm.. based on true story yah?
BalasHapusHehe... Kombinasi, mbak. ^_^
Hapus