"Yang baik tidak bisa lepas dari keburukan dan yang buruk tetap punya kemungkinan menjadi baik"

- Masa lalu boleh kelam, namun masa depan tak boleh suram (V_2198)-

Selasa, 20 Desember 2011

Sang Penulis

Sang Penulis
Oleh : Ervina Rahiem

Olivia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Beberapa helai kertas HVS berukuran kwarto tersusun rapi diserahkan kepada Keisya sahabatnya.
“Cerpen baru Liv?” Keisya menyambut kertas putih yang disodorkan teman sebangkunya itu.
“Ho’oh, baru selesai tadi malam. Silakan dibaca dan jangan lupa kritik dan sarannya ya non, hehe.”
Sebenarnya Olivia memiliki bakat menulis yang cukup baik. Buktinya selama dua tahun duduk di bangku SMA Olivia sudah menelorkan beberapa cerpen karyanya. Hanya saja, sayang bakat itu tak pernah disalurkan entah dengan mengikuti lomba menulis cerpen ataupun mengirimkan karya-karyanya tersebut ke media lokal.
“Sarannya sih masih tetap sama kali neng, kirim cerpennya ke media.”
“Waduh, masih malu Kei ngirim cerpen kacangan gini ke media, masih perlu banyak latihan, hehe.”
Begitulah alasan Olivia setiap kali teman-temannya menyarankan untuk mengasah bakat terpendamnya. Jangankan ke media, untuk dikirim ke redaktur mading sekolah saja Olivia selalu terkesan ogah. Hanya puisi-puisnya saja yang sering nampang di mading. Alhasil, cerpen-cerpen karya terbaik Olivia hanya dinikmati oleh teman-teman sekelasnya.
“Sssstttt… Bu Dina datang, “ Rinto sang ketua mengisyaratkan para siswa kelas sebelas Bahasa untuk menghentikan kegaduhan. Suasana kelas menjadi hening seketika saat guru bahasa Indonesia itu memasuki ruang kelas yang sederhana itu.
Suasana begitu hikmat saat bu guru menerankan pelajaran, kali ini membahas tentang fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
“Reva! Sinta! Apa yang kalian lakukan?” Tiba-tiba Bu Dina menegur dua siswi yang duduk di barisan paling belakang, paling pojok pula.
“Eeee… anu bu, eee…” Sinta mencoba menjawab dengan tergagap-gagap sambil garuk-garuk kepala enggak jelas, sementara Reva hanya melongo di sebelahnya sembari mencoba mengatur laju detak jantungnya yang sudah mencapai 100 km/jam.
“Dari tadi ibu lihat kalian tidak memperhatikan apa yang ibu ajarkan, malah sibuk berebut kertas.”
Rupanya kedua gadis itu sedang sibuk membaca cerpen barunya Olivia yang berjudul satu bintang untukmu dan tertangkap basah oleh Bu Dina saat tengah meributkan halaman-halamannya yang terpisah enggak karuan. Maklum lah, karena cetakan limited edition penghuni kelas itu harus mengantre untuk membaca karya fenomenal Olivia. Sontak saja bu guru langsung menyita cerpen itu.
“Setelah jam pelajaran ini, kalian ikut ibu ke ruang guru.”
“Baik bu.” Serempak Reva dan Sinta menjawab pasrah. Sementara Olivia bengong sendiri memikirkan nasib cerpennya yang kini berada di tangan sang maestro, ups sang guru maksudnya, hehe.
***
Usai jam pelajaran bahasa Indonesia, Bu Dina meninggalkan ruang kelas diikuti dua siswa yang tertangkap basah tadi.
Setelah puas mendengarkan petuah Bu Dina selama kurang lebih sepuluh menit, dua gadis malang itu pun kembali ke kelas dengan wajah tanpa ekspresi.
“Oliv, lu dipanggil Bu Dina tuh di ruangannya,” ujar Reva sesampainya di depan pintu kelas.
“Haaaahh? Gue?” Olivia menganga selebar-lebarnya demi mendengar pesan singkat itu.
“Iya elu, masa kuntilanak?” Sinta menimpali.
“Enak aja gue dikatain kuntilanak, masih lebih cantik gua kali…”
“Duh, ada apa ya? Mati dah gue.” Olivia menatap penuh tanya pada Keisya sahabatnya sembari melangkahkan kaki menuju ruang guru.
“Permisi bu, ibu memanggil saya?”
“Iya Oliv, silakan masuk”
Olivia memasuki ruangan Bu Dina dengan langkah ragu.
“Ada apa ya bu?”
“Cerpen ini karangan kamu?” Bu Dina langsung ke inti permasalahan.
“Iya bu. Maaf bu, saya sama sekali enggak bermaksud untuk membuat keributan di kelas, saya juga enggak tau kalau Reva dan Sinta membaca cerpen itu pas jam pelajaran ibu, apalagi sampai berebut seperti itu. Biasanya anak-anak membacanya pas jam istirahat atau kalau ada waktu luang,” Olivia menjelaskan panjang lebar tanpa diminta, membuat Bu Dina jadi senyum-senyum sendiri olehnya.
“Biasanya? Berarti kamu sudah sering membuat cerpen seperti ini?” Bu Dina bertanya setengah menyelidik.
Olivia tertunduk, jantungnya berdegup kencang. Dalam hatinya sudah pasrah saja dengan apa yang terjadinya pada cerpennya. Mungkin akan jadi penghuni baru lemari barang-barang sitaan, atau mungkin malah akan dijadikan mainan bola-bola oleh Bu Dina. Walaupun Olivia tau Bu Dina enggak akan sekejam itu, karena Bu Dina adalah guru yang paling lembut di sekolah itu, apalagi dia adalah guru Bahasa Indonesia.
“Justru itu bagus Oliv, ternyata kamu memiliki bakat yang luar biasa. Kenapa enggak dikembangkan?”
“Maksud ibu?”
“Ibu sudah baca cerpen kamu dan ibu nilai cukup bagus. Sudah pernah coba kirim ke media?”
Olivia hanya menggeleng.
“Kebetulan ini ada lomba menulis cerpen remaja tingkat pelajar, ibu sarankan sebaiknya kamu ikut. Hitung-hitung untuk mengukur sejauh mana potensimu dalam menulis.”
“Tapi bu, saya rasa saya masih perlu banyak latihan untuk hal itu”
“Justru ini bisa sebagai ajang latihan”
Olivia tertunduk malu. Ada keraguan juga dalam hatinya untuk mengikuti lomba menulis cerpen itu. “Bagaimana jika hasinya mengecewakan bu?”
“Ya, namanya juga belajar. Seorang penulis itu harus berjiwa besar. Kegagalan harus dijadikan cambuk untuk membangkitkan semangatmu agar menghasilkan tulisan yang lebih baik lagi. Kamu enggak perlu khawatir, ibu langsung yang akan membimbing kamu dalam lomba ini, bagaimana?”
“Baik bu, saya bersedia. Cerpen yang akan dilombakan yang itu bu?” tunjuk Olivia pada cerpennya yang kini berada di tangan Bu Dina.
Gurunya itu tersenyum lalu menyerahkan selembar kertas undangan kegiatan lomba. “Bukan, kamu harus membuat lagi cerpen baru sesuai dengan tema yang ditentukan, silakan kamu pelajari ini. Yang ini biar ibu pegang dulu.”
“Baik bu” Olivia beranjak dari tempat lalu pergi meninggalkan ruangan setelah dipersilakan oleh Bu Dina.
***
“Gimana Liv? Lu dimarahin sama Bu Dina?” Keisya langsung menyodorkan beberapa pertanyaan begitu Olivia tiba di bangku kesayangannya.
“Gue diminta mewakili sekolah dalam lomba menulis cerpen remaja tingkat pelajar Kei”
“Bagus dong Liv, itu artinya lu bisa mulai melebarkan sayap dong?”
“Melebarkan sayap? Emangnya gue burung? Masalahnya gua malu Kei.”
“Kenapa juga mesti malu? Cerpen-cerpen lu itu bagus banget, gue yakin deh lu pasti menang.”
“Hehe, aaamiin.”
“Eh by the way cerpen lu mana?”
“Masih disita sama Bu Dina.”
“Yaaahh, gue kan belum selesai membacanya,” Keisya menyesali cerpen yang kini bermukim di ruangan Bu Dina.
“Lu sih, belum selesai dibaca udah main kasih aja ke anak-anak.”
“Hehe, maaf ya Liv...”
***
Sudah hampir dua minggu Olivia rutin berurusan dengan Bu Dina sang guru Bahasa Indonesia yang sekarang jadi guru pembimbing cerpennya. Tiga hari lagi batas akhir pengiriman naskah cerpen yang dilombakan tiba, untungnya cerpen Olivia pun sudah memasuki tahap akhir dan siap untuk dikirimkan.
“Akhirnya gue bisa tenang juga Kei,” keluh Olivia pada sahabatnya.
“Bukannya lu udah biasa ya Liv bikin cerpen kaya ginian?”
“Emang sih, tapi kan ini pertama kalinya gue ikut lomba menulis. Cukup menegangkan juga ternyata, hehe.”
Tiba-tiba Rinto muncul di antara kedua gadis itu menyampaikan pesan Bu Dina yang meminta Olivia untuk menemuinya di ruangannya.
“Ada apa lagi ya? Perasaan urusan lomba cerpen sudah selesai.” Keisya hanya mengangkat bahu menanggapi pertanyaan sahabatnya itu. Olivia pun melaju menuju ruangan Bu Dina.
“Olivia, coba kamu lihat ini.” Bu Dina menyodorkan surat kabar terbitan dua hari yang lalu, yaitu hari minggu. Kejutan yang diterima Olivia begitu melihat halaman yang ditunjukkan Bu Dina.
“Bu, ini kan?” Rupanya Bu Dina mengirimkan cerpen Olivia ke media harian lokal dan cerpen itu dimuat. Olivia terlihat sangat senang menerima kejutan itu
“Terimakasih bu.”
Olivia menujukkan halaman yang memuat cerpennya itu kepada sahabatnya.
“Kei, lihat ini.”
“Wow, akhirnya sang penulis keluar juga dari sarangnya. Selamat ya Liv.”
Keisya memeluk sahabatnya dengan gembira dan mereka pun tertawa lepas mengurai kebahagiaannya.[]


Banjarmasin Post, 22012012

4 komentar:

  1. Bakat...
    Tak semua manusia yang dikaruniai bakat bisa menyalurkannya dengan baik. Kadang ada rasa tidak percaya diri, kadang ada rasa takut kalau hasil karyanya tidak dihargai orang lain.
    Disinilah sahabat dan orang-orang terdekat kita mengambil peranan. Merekalah yang bisa menilai kita, merekalah yang bisa mensupport kita. Kalau mereka bilang hasil karya kita bagus, berarti kemungkinan besar orang lain juga akan bilang bagus.
    kalaupun akhirnya kita kurang berhasil, toh kita tetap akan mendapatkan pengalaman dari itu semua.. justru dengan kritikan kita jadi bisa memperbaiki hasil karya kita untuk membuat hasil karya yang lebih baik di kemudian hari.
    Tau dengan grup band ungu?
    album pertama dan kedua mereka tidak begitu meledak di pasaran. tapi mereka tidak pernah berhenti berkarya..
    hingga akhirnya kini, lagu-lagu mereka sangat disukai para kaum muda. Bahkan saat ini mereka menjadi salah satu band papan atas Indonesia..
    Teruslah berkarya..

    Cerpen yang bagus :)
    Semoga bisa menjadi inspirasi bagi Olivia Olivia lain yang ada di luar sana, Bahkan sang penulis cerpen ini sendiri.

    BalasHapus
  2. :)
    Makasih...
    Kita harus bisa menghargai karya sendiri lebih dulu agar oranglain pun bisa menghargai karya kita juga :)
    Semangat!!

    BalasHapus
  3. Semangat !!
    dan teruslah berkarya !

    BalasHapus
  4. Yupz.. semoga bisa menghasilkan karya yg lebih baik lg...
    Saran dan kritiknya selalu ditunggu diblog ini :)

    BalasHapus

Syukron sudah meninggalkan pesan di blog ini. ^_^